Kamis, 09 Oktober 2014

Fakta Menarik Tentang Perpustakaan

Beginilah fakta menarik tentang perpustakaan yang saya temukan saat membolak-balik halaman diktat kursus perpustakaan dari Bina Pustaka. Semoga bermanfaat dan memberikan semangat bagi rekan pustakawan dalam melakukan tugas di tempat masing-masing. 

1. Perpustakaan berasal dari dua kata yang disatukan :
  • bahasa Indonesia : pustaka (buku), perpustakaan (kumpulan buku)
  • bahasa Romawi (librarium) : liber (buku) dan armarium (lemari)
  • bahasa Yunani (bibliotheke) : biblion (buku) dan theke (lemari)

2. Perpustakaan pertama dimulai sejak abad ke-13 di Sumeria, kota Niniveh. Kota ini terkenal di dalam kisah Nabi Yunus yang diutus Tuhan agar memberitahukan penduduk kota ini untuk bertobat. Rajanya, Asurbanipal menghimpun koleksi perpustakaan ini dari milik keluarga raja yang terbuat dari tanah liat dan dijadikan tablet tanah liat. Mungkin fisiknya mirip gadget tablet jaman sekarang. Informasi di dalamnya ditulis dengan huruf paku.

3. Dalam perkembangannya, perpustakaan juga menyimpan koleksi yang terdiri dari papirus dan perkamen. Perkamen terbuat dari kulit binatang terutama kambing dan sapi. 

4. Berdasarkan Keppres No. 11 tahun 1989, Perpustakaan Nasional Depdikbud kedudukannya ditingkatkan, tidak lagi di bawah Depdikbud tetapi langsung di bawah Presiden RI melalui Sekretariat Negara. 

5. Pustakawan jaman dulu merupakan orang-orang yang berpengetahuan tinggi, harus menguasai lebih dari 2 bahasa dunia. Mereka merupakan filsuf-filsuf terkenal yang didatangkan dari Yunani. 

sumber : Kursus Tertulis Perpustakaan Bina Pustaka Jakarta

Selasa, 26 Agustus 2014

Shadow of His Hand


Saya suka sekali dengan kisah Anita Dittman, seorang Arya (German) - Yahudi, yang mengalami kesukaran hidup pada masa pemerintahan Hitler di Jerman. Ayahnya memilih meninggalkan isteri dan anak-anaknya karena merasa telah membuat keputusan bodoh, menikahi seorang Yahudi. Anita diperlakukan bukan seperti anak kandung sendiri, memilih untuk ikut dengan ibunya, sementara kakaknya, Hella, memilih ikut ayahnya. 

Anita mahir sekali menari balet dan ingin menjadi seorang penari profesional. Saat itu, Hitler menyebarkan kebencian terhadap ras Yahudi, menyebut mereka Judenfratz. Di segala tempat, Anita harus menerima perlakukan buruk orang-orang Jerman yang pro-Nazi tanpa perlawanan apapun. Bahkan ia harus membiasakan diri membaca tanda-tanda, berjalan dengan kepala tertunduk, tidak melakukan kontak mata, berjalan di tempat-tempat berbayang agar tidak dilihat orang lain.
  
Anita berjumpa dengan Kristus saat ia mengunjungi gereja St. Barbara yang dipimpin oleh Pastor Hornig. Pertolongan dan pengorbanan pastor ini memberikan kesaksian nyata tentang kehidupan Kristus bagi Anita dan ibunya. Sejak saat itu, Anita selalu percaya akan perlindungan Tuhan, di bawah Bayang dari tangan-Nya. Ibu dan 3 bibi Anita juga menjadi Kristen yang kuat yang punya cara jitu menghilangkan kemarahan akibat ketidakadilan yang mereka terima dengan kalimat Ini bisa jadi lebih buruk lagi. Jadi, bersyukurlah!

Biarpun iman Anita dan ibunya serta ketiga Tante-nya teguh, penganiayaan tidak menjauh dari mereka. Mereka diharuskan bekerja tanpa bayaran, hanya untuk mendapatkan makanan yang semakin sedikit porsinya. Tiap kali mereka pulang dan mendapati ada surat dari Gestapo, salah satu dari mereka harus ikut dengan tentara SS yang akan menjemput. Anita berpikir, jika mereka semua harus dibunuh, mengapa tidak sekaligus saja mereka dijemput? Cara menjemput satu per satu menjadi cara paling kejam untuk menyiksa keluarga-keluarga Yahudi maupun yang campuran Yahudi. 

Saat paling menyakitkan adalah saat surat Gestapo menyatakan bahwa giliran Hilde Dittman yang dijemput. Hilde meyakinkan Anita bahwa mereka akan bertemu lagi, bahwa Tuhanlah yang membuat semua itu mungkin. Saat itu Pengadilan Nuremberg sudah menerbitkan keputusan agar mereka yang keturunan Jerman, tidak akan disita barang-barangnya. Kenyataannya, putusan itu tidak berlaku di lapangan. 

Dalam kebingungan, Anita tidak kembali ke tempat dia tinggal selama ini melainkan pergi menemui Pastor Hornig. Ia diminta untuk menghubungi ayahnya untuk meminta pertolongan. Anita ragu kalau ayahnya mau menerima panggilan teleponnya. Ternyata, sang ayah senang sekali Anita meminta bantuan darinya. Anita belajar untuk mengampuni ayahnya, tidak mempertahankan gengsi atau kemarahan masa kecilnya. 

Sejak kepergian ibunya, Anita selalu mencari cara untuk mengirimkan roti. Terkadang dia tidak makan, agar ibunya punya makanan lebih banyak. Tindakan itu membuat dirinya kehilangan rambut dan tubuhnya semakin kurus, hanya dia tidak merasa lemah. Itulah pertolongan Tuhan yang lain yang ia rasakan. 

Anita dan beberapa teman Yahudi-Kristen lainnya dijemput oleh Gestapo suatu hari. Para pria diarahkan ke gudang kosong yang tidak jauh dari tempat pemerahan susu, tempat para perempuan dikumpulkan. Mereka diharuskan menggali parit dan menebang pohon untuk pertahanan NAZI terhadap serangan sekutu dan Rusia. Pekerjaan yang berat itu menyebabkan kaki kanan Anita rusak karena keracunan darah. 

Anita dan teman-temannya berencana melarikan diri begitu tahu bahwa Rusia sudah mengalahkan Jerman dan menduduki kota-kota. Beberapa teman laki-laki Anita sudah lebih dahulu meninggalkan dirinya, Anita ditemani oleh Hella, teman yang punya nama mirip dengan kakak Anita. Hella inilah yang kemudian membawa Anita ke rumah sakit, mengobati kakinya. 

Setelah mengalami operasi berkali-kali, juga kejahatan salah satu suster super-Nazi yang berusaha membunuh dirinya, Anita semakin diteguhkan akan perlindungan di bawah bayang tangan-Nya. Bagaimana kelanjutan kisah ini? Apakah Anita bertemu kembali dengan ibunya? Silakan baca sendiri kisahnya dan jangan lupa mengikuti kisah lainnya dalam seri Daughters of Faith. 





The Divine Dance

Buku ini ditujukan untuk para remaja putri dan wanita yang merasakan tekanan yang sama yang dirasakan (dan masih saja dirasakan) oleh si penulis, Shannon Kubiak Primicerio, untuk memberikan pertunjukan di hadapan orang lain. Sepertinya, kita semua memiliki para penggemar dan para pengritik yang memenuhi auditorium dari hidup kita. Kita semua memiliki ruang yang diisi penuh dengan pakaian yang indah dan topeng yang berkilauan yang menjadi tempat persembunyian kita.  Setiap pribadi ingin menjadi seseorang yang istimewa. Namun sayangnya, tidak seorang pun yang merasa seperti itu.

 Namun, tetap saja pertunjukan itu dimulai. Selangkah demi selangkah kita mulai menari sepanjang hidup kita, berharap seseorang akan memperhatikan kerja keras yang kita lakukan dan menghargainya. Kita ingin seseorang memberikan tepukan tangan, menyoraki pertunjukan kita. Kita ingin seseorang memberikan tepukan sambil berdiri dan melemparkan bunga mawar ke kaki kita. Kita ingin menjadi puteri. Dan lebih lagi, kita ingin dicintai.  Sehingga kita terus menari sampai kita kelelahan dan tidak ada lagi yang tersisa.

Shannon berhasil menangkap esensi dari segala sesuatu yang sudah lama dicari-cari para remaja, sebagaimana tanggapan seorang pembaca bernama Robin Jones Gunn. Semuanya ada di dalam buku ini: harapan, kebenaran, koreksi dengan cara yang lemah lembut, dan sorotan yang cerdas ke arah Tuhan, sang Kekasih yang pantang menyerah, yang sudah lama menunggu untuk menari bersama kita.

Buku ini mudah dibaca, menghibur karena ditulis dengan penuh gairah oleh seorang yang lulus dari Universitas Biola, mendapatkan gelar sarjana muda di bidang Jurnalisme dan Studi Alkitab. Shannon juga sering diundang menjadi pembicara pada acara-acara muda-mudi di seluruh negeri. 

The One and The Only Ivan

The One and Only Ivan berkisah tentang suka duka yang dihadapi hewan-hewan sirkus milik Mack. Setiap hewan memiliki karakter dan penampilan yang unik dalam menilai kehidupan mereka di dalam kelompok maupun para manusia yang datang untuk melihat mereka. Buku ini memberikan sudut pandang yang baru tentang kehidupan hewan-hewan yang dikurung dan perlakuan manusia terhadap mereka yang bisa menjadi renungan menarik.

Ivan adalah seekor gorilla yang mudah berkawan. Hidup di Exit & Big Top Mall and Video Arcade membuatnya terbiasa dengan tatapan manusia yang melihatnya dari pembatas-pembatas kaca tempat ia tinggal. Jarang sekali ia merindukan kehidupan di hutan belantara. Sebaliknya, ia mengisi waktu dalam ketenangan dan banyak berpikir tentang seni.

Lalu Ivan bertemu dengan Ruby, seekor bayi gajah yang dipisahkan dari keluarganya, dan ia membuat Ivan melihat tempat tinggalnya – dan kemampuan seninya – menggunakan mata yang baru. Saat Ruby datang, perubahan datang besertanya, dan Ivan-lah yang membuat perubahan itu menjadi kebaikan.


Katherine Applegate mencampur humor dan ketajaman berpikir untuk menciptakan narasi yang tidak terlupakan dengan Ivan sebagai karakter pertama  dalam kisah tentang persahabatan, seni, dan harapan. Katherine terinspirasi untuk menulis buku ini setelah membaca kisah sejati dari seekor gorilla yang juga bernama Ivan, si Gorilla Mall. Ivan yang sesungguhnya hidup di kurungan yang keicl selama 27 tahun sebelum akhirnya dipindahkan ke Kebun Binatang Atlanta. 

A Girl Who Leads

Kamu harus berdiri teguh di atas sesuatu, di tengah-tengah dunia yang menyerah terhadap segala sesuatu.

Kepemimpinan bukanlah sebuah posisi dimana kamu bisa masuk dan keluar, dan tidak ada hubungannya dengan umur. Menjadi remaja putri yang memimpin berarti berusaha dengan sadar untuk melakukan Firman Tuhan di dalam kehidupan nyata – tidak ada kompromi. Segala sesuatu yang kita lakukan di dalam dunia hanya akan memuliakan Tuhan atau mempermalukan Tuhan. Tidak ada yang netral.

Apakah kamu takut menjadi berbeda? Seberapa sering kamu ikut-ikutan orang lain sehingga mereka tidak berpikir bahwa kamu aneh atau bukan bagian dari mereka? Apa yang akan terjadi pada dirimu seandainya kamu ada di pesta besar-besaran dan kamu ditantang untuk menyambar segelas bir dan bercumbu dengan dengan pria tampan yang menghampirimu? Di bagian mana kamu merasa harus menyingkir? Bagian besar menjadi seorang Kristen yang memimpin adalah berdiri melawan sesuatu yang kamu tahu itu salah. Kamu tidak perlu ikut-ikutan arus setiap saat.

Menjadi seorang pemimpin, kamu harus menjadi berbeda. Teman-temanmu akan memperhatikanmu dan keputusan-keputusan yang kamu ambil, dan jika kamu membuat sebuah keputusan yang melawan tata social ayng ada dan berdiri atas dasar yang kamu imani, maka yang lainnya akan juga memperhatikan. Jika remaja putrid lainnya mengikuti teladanmu, maka akan terjadi revolusi yang luar biasa pada seluruh generasi kita. Hanya dibutuhkan satu orang untuk melakukan perubahan. Kamu bisa menjadi seorang pemimpin. Apakah kamu mau menjadi berbeda?

Buku ini banyak mengulas tantangan nyata yang dihadapi oleh remaja putrid dan bagaimana membuat keputusan berbeda yang manfaatnya menjadikan mereka benar-benar sebagai ‘garam dan terang dunia’, sebagaimana yang tertulis di dalam Alkitab. Dengan bahasa yang sederhana, data yang akurat, buku karangan Shannon ini akan menantang para remaja untuk menjadi pribadi yang unik, pribadi yang kritis.

Fatty Leg

Buku ini mengisahkan tentang keinginan besar seorang anak perempuan, Olemaun Pokiak, untuk memiliki kemampuan membaca dan menulis karena salah seorang sepupu perempuannya, Rosie. Olemaun hanya ingin dapat membaca sendiri buku kesukaannya , Alice in Wonderland, dan kemudian membacakannya untuk orangtua dan adik-adiknya.

Untuk mengejar keinginannya ini, Olemaun harus meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya dan pergi menempuh pendidikan di sekolah yang dijalankan oleh Gereja. Ia dan ayahnya menempuh perjalanan dari Artik Tinggi ke Aklavik. Gadis Inuit (Eskimo) ini bertemu dengan biarawan dan biarawati yang disebut “orang luar”.

Tidak berapa lama, Olemaun yang berubah nama menjadi Margaret, bertemu dengan seorang biarawati, si Gagak, yang berhidung betet dan berjari-jari kurus seperti cakar.  Raven langsung tidak menyukai gadis kecil yang berkemauan kuat ini. Untuk memperlihatkan ketidaksukaannya, si Gagak ini membagikan stoking abu-abu kepada semua murid kecuali Margaret, yang menerima stoking merah. Segera saja, Margaret menjadi bahan tertawaan di sekolah.


Sekarang Margaret harus menghadapi para penyiksanya. Saya suka sikap Margaret yang mampu untuk mempertahankan identitas dirinya dalam situasi yang sulit dan keinginan kuatnya untuk mendapatkan keterampilan yang lebih baik, walaupun dia seorang anak perempuan dan tinggal di daerah yang terpencil. Buku ini ditulis oleh Margaret sendiri dibantu oleh menantu perempuannya dan satu lagi illustrator yang menjadikan buku ini mudah dibaca dan dinikmati.                                                                           

Rabu, 07 Mei 2014

Malas Membaca

Beberapa hari yang lalu, saat saya ke ruang guru untuk makan siang, seorang guru bercerita tentang murid-muridnya yang tidak mengerjakan soal-soal tertentu pada pekerjaan rumah mereka karena malas membaca soal yang panjang. Sebagai solusinya, si guru memberikan sangsi berat bagi murid yang tidak mengerjakan semua soal, biarpun hanya satu yang tidak diselesaikan.

Mendengarkan kisah lucu sekaligus memprihatinkan ini, saya memberikan komentar. 

"Mungkin mereka terbiasa membaca tidak lebih dari 150 karakter seperti kolom isian celotehan di salah satu media sosial Twitter!"

Pendapat saya disetujui oleh salah seorang guru yang juga sedang mendengarkan keluhan guru pertama tadi. 

Tidak menyalahkan seratus persen para murid ini, saya juga cenderung malas membaca jika tidak dipaksakan. Terus terang saja, sejak berkembangnya media sosial, saya jadi kurang mengambil waktu untuk membaca. Saya cenderung membaca berita lewat timeline teman-teman, pop-up news di internet, melewatkan bagian yang tidak menarik, cepat mengambil kesimpulan, dan puas dengan pengetahuan sedangkal itu. 

Ponsel pintar yang berkembang pesat turut memperburuk kemalasan membaca. Saat sedang asik membaca, denting halus tanda ada pesan yang masuk ke ponsel saya mengalihkan perhatian dari buku. Segera menjawab pesan tersebut sepertinya tindakan yang tidak dapat ditahan lagi. Entahkah takut dianggap sombong jika tidak segera menjawab, ataukah hanya latah saja, saya juga tidak tahu. Berbeda saat mengirimkan SMS di ponsel-ponsel jadul harus menyedot pulsa, denting-denting halus ini seakan tidak berhenti. Kalaupun berhenti, saya yang galau. 

Kesimpulan atau komentar terhadap suatu isu penting berdasarkan informasi kurang lengkap bukan hanya dapat menggiring pada kesalahpahaman, tetapi juga berbahaya. Seperti murid yang dikisahkan di atas tadi, karena kurang informasi, tidak mau berpikir, tidak mau menjawab, tidak peduli nilai yang akan diperoleh. Ketidakpedulian, apatis, mudah terprovokasi, tidak tahu malu adalah beberapa sikap yang terjadi jika kita malas membaca, malas menelusuri fakta. 

Teknologi akan terus berkembang. Ini adalah godaan. Kitalah yang menentukan akan menjadi seperti apa bangsa kita di kemudian hari. Ayo, tekunlah membaca!




Kamis, 20 Februari 2014

Semua Membaca Buku: Indahnya Kebersamaan

Pekan buku atau sering disebut bookweek menjadi program menarik tahunan yang dinanti-nanti di tempat kerja saya. Selamat seminggu, kami akan mengadakan kegiatan membaca bersama, tiga kali sehari, selama lima belas menit sepajan jam kerja (seperti minum obat, ya?) dan kemudian menuliskan jumlah halaman yang kami baca pada reading logsheet yang telah disediakan oleh panitia. Jumlah halaman itu akan dikumpulkan per kelas dan dipajang sesuai dengan tema yang dipilihkan tahun itu. 

Hanya saja, kegembiraan ini belum dirasakan oleh bagian umum, termasuk di dalamnya para pekerja kebersihan, satpam, serta office boy. Bukan mereka tidak mau berpartisipasi dalam acara ini, tetapi kesibukan kerja, mobilitas yang tinggi dan tuntutan harus stand by kapanpun diperlukan. Tidak bisa dipungkiri, membaca itu membutuhkan waktu tenang sejenak sehingga dapat menikmati bahan bacaannya. 

Tahun ini ada yang berbeda. Para pekerja di bagian umum 'dipaksa' turut serta. Mereka 'harus' membaca buku-buku yang sudah dipilihkan (kebanyakan buku motivasi) serta menuliskan jumlah halaman yang sudah dibaca. Kebetulan, kami para pustakawan, dimasukkan ke dalam kelompok bagian umum pada pekan buku tahun ini. Dibantu oleh kepala bagian umum, saya memperoleh keseluruhan jumlah halaman yang terbaca selama seminggu oleh kelompok kami. 

Dari reading logsheet yang saya terima, ternyata jumlah halaman yang terbaca cukup menggembirakan. Memang tidak semua yang mengembalikan reading logsheet-nya, mungkin terselip entah dimana, sehingga ada beberapa yang menuliskannya pada selembar kertas, membatasi halamannya dengan selembar tisu toilet (mungkin sebaiknya lain waktu buku harus disertakan dengan penanda buku, bookmark) atau pesan melalui telepon. Ada satu reading logsheet yang membuat saya 'terharu' dari pekerja kebersihan bernama Santi. Saya lihat dia hanya punya kesempatan membaca sekali dalam satu hari, tetapi dia tetap menuliskan dan mengumpulkan reading logsheet serta menyimpan sampai pekan buku selesai. Oh, so sweet!

Memang kelompok kami paling akhir menampilkan total jumlah halaman yang telah kami baca, bahkan saat acara itu telah berakhir. Saya tetap memajang reading track yang dibuat seperti laut dengan binatang-binatang di dalamnya. Saya ingin sekali melihat reading track kami dipenuhi binatang-binatang laut. 

Dan hari itu pun tiba. Jumlah halaman yang terkumpul sudah 984 (sembilan ratus delapan puluh empat). Ini berarti kami mendapatkan 5 binatang laut (1 binatang laut mewakili 200 halaman).
 
Reading track






Semoga indahnya kebersamaan ini terulang kembali pada pekan buku di tahun-tahun mendatang.

Senin, 17 Februari 2014

Pustakawan Bukan Penjaga Buku

Artikel ini ditulis oleh Ina Liem dan dimuat di harian Kompas, Jumat, 7 Februari 2014. Saya sengaja merangkumkan artikel yang panjang dan menarik ini dengan tujuan mendorong para pustakawan di tempat saya bekerja dan secara luas agar bangga dengan profesinya dan selalu meningkatkan kemampuan mereka di bidang yang masih dianggap kurang bergengsi di Indonesia.

Siapa mau jadi pustakawan? Dari hasil polling penulis terhadap 5.614 siswa SMA di Indonesia tahun lalu, hanya ada 1 siswi yang berminat. Profesi ini masih dipandang sebelah mata. Kerjanya seolah-olah hanya menjaga buku, tenggelam di antara menjulangnya jajaran rak berisi ribuan buku. Apakah profesi ini memang "sepi pekerjaan" dan berprospek suram?

Indonesia punya lebih dari 200.000 sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan lebih dari 3000 perguruan tinggi. Bayangkan, kalau tiap institusi memerlukan seorang pustakawan, berapa sarjana perpustakaan yang harus disediakan. Untuk perbandingan, jumlah pustakawan Indonesia saat ini hanya sekitar 3000 orang. 

Padahal, selain perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, kita punya perpustakaan negara, perpustakaan umum, dan perpustakaan khusus. Bukan itu saja, lembaga pemerintahan dan perusahaan besar pun memerlukan keahlian mereka.

Bahkan, di perusahaan-perusahaan besar, karir pustakawan bisa mencapai posisi sebagai Chief Information Officer (CIO), yang setara dengan Chief Financial Officer (CFO) ataupun Chief Marketing Officer (CMO). Namun, tentu saja untuk bisa seperti ini diperlukan landasan akademis yang kuat. 

Tak banyak yang tahu bahwa seorang sarjana Ilmu Perpustakaan menggenggam seabrek keahlian yang bisa diaplikasikan ke banyak bidang terkaint informasi. Alasannya jelas, keahlian utama mereka adalah menghimpun, mengelola, menyebarkan, dan melestarikan informasi, lalu menyajikannya sesuai kebutuhan. 

Berhubung tugas utamanya adalah membagikan informasi, maka seorang pustakawan yang ideal bukan dari golongan kutu buku yang pendiam. Justru seorang pustakawan harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik sebab ia harus berhubungan dengan berbagai pihak dan divisi di perusahaan. Ia juga harus berorientasi pada pelayanan pelanggan dan pemasaran. Oleh sebab itu, karena bidang kerjanya makin dinamis dan media informasi makin bervariasi, sebaiknya seorang pustakawan adalah pribadi yang kreatif.

Harus diakui, untuk urusan informasi di era keterbukaan ini, Indonesia masih jauh tertinggal. Di negara lain, lulusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan menempati posisi strategis di berbagai industri. Selain perpustakaan, mereka bisa bekerja di bidang digital curation, digital preservation, digital publishing,  atau information analysis.

Begitu dahsyatnya revolusi digital sehingga arus informasi mengalir tak terbendung. Menyaring dan mencari informasi di antara jutaan data memerlukan keahlian tersendiri. Pustakawan pada era digital bukan lagi penjaga buku, melainkan lebih berperan sebagai information provider yang membantu memudahkan pengambilan keputusan secara cerdas. Pustakawan mesti berusaha lebih keras untuk menarik perhatian agar informasi berguna tetap mendapat tempat di hati masyarakat. 

Apabila kebutuhan akan keahlian ini tidak segera diisi oleh generasi muda kita, tidak mustahil setelah berlakunya AFTA (ASEAN Free Trade Area), kita akan kebanjiran tenaga ahli informasi dari mancanegara. Kita percaya bahwa "information is power". Jadi, jangan sampai "power" di negeri tercinta ini kelak jatuh ke dalam genggaman para "information manager" pendatang.