Senin, 17 Februari 2014

Pustakawan Bukan Penjaga Buku

Artikel ini ditulis oleh Ina Liem dan dimuat di harian Kompas, Jumat, 7 Februari 2014. Saya sengaja merangkumkan artikel yang panjang dan menarik ini dengan tujuan mendorong para pustakawan di tempat saya bekerja dan secara luas agar bangga dengan profesinya dan selalu meningkatkan kemampuan mereka di bidang yang masih dianggap kurang bergengsi di Indonesia.

Siapa mau jadi pustakawan? Dari hasil polling penulis terhadap 5.614 siswa SMA di Indonesia tahun lalu, hanya ada 1 siswi yang berminat. Profesi ini masih dipandang sebelah mata. Kerjanya seolah-olah hanya menjaga buku, tenggelam di antara menjulangnya jajaran rak berisi ribuan buku. Apakah profesi ini memang "sepi pekerjaan" dan berprospek suram?

Indonesia punya lebih dari 200.000 sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan lebih dari 3000 perguruan tinggi. Bayangkan, kalau tiap institusi memerlukan seorang pustakawan, berapa sarjana perpustakaan yang harus disediakan. Untuk perbandingan, jumlah pustakawan Indonesia saat ini hanya sekitar 3000 orang. 

Padahal, selain perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, kita punya perpustakaan negara, perpustakaan umum, dan perpustakaan khusus. Bukan itu saja, lembaga pemerintahan dan perusahaan besar pun memerlukan keahlian mereka.

Bahkan, di perusahaan-perusahaan besar, karir pustakawan bisa mencapai posisi sebagai Chief Information Officer (CIO), yang setara dengan Chief Financial Officer (CFO) ataupun Chief Marketing Officer (CMO). Namun, tentu saja untuk bisa seperti ini diperlukan landasan akademis yang kuat. 

Tak banyak yang tahu bahwa seorang sarjana Ilmu Perpustakaan menggenggam seabrek keahlian yang bisa diaplikasikan ke banyak bidang terkaint informasi. Alasannya jelas, keahlian utama mereka adalah menghimpun, mengelola, menyebarkan, dan melestarikan informasi, lalu menyajikannya sesuai kebutuhan. 

Berhubung tugas utamanya adalah membagikan informasi, maka seorang pustakawan yang ideal bukan dari golongan kutu buku yang pendiam. Justru seorang pustakawan harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik sebab ia harus berhubungan dengan berbagai pihak dan divisi di perusahaan. Ia juga harus berorientasi pada pelayanan pelanggan dan pemasaran. Oleh sebab itu, karena bidang kerjanya makin dinamis dan media informasi makin bervariasi, sebaiknya seorang pustakawan adalah pribadi yang kreatif.

Harus diakui, untuk urusan informasi di era keterbukaan ini, Indonesia masih jauh tertinggal. Di negara lain, lulusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan menempati posisi strategis di berbagai industri. Selain perpustakaan, mereka bisa bekerja di bidang digital curation, digital preservation, digital publishing,  atau information analysis.

Begitu dahsyatnya revolusi digital sehingga arus informasi mengalir tak terbendung. Menyaring dan mencari informasi di antara jutaan data memerlukan keahlian tersendiri. Pustakawan pada era digital bukan lagi penjaga buku, melainkan lebih berperan sebagai information provider yang membantu memudahkan pengambilan keputusan secara cerdas. Pustakawan mesti berusaha lebih keras untuk menarik perhatian agar informasi berguna tetap mendapat tempat di hati masyarakat. 

Apabila kebutuhan akan keahlian ini tidak segera diisi oleh generasi muda kita, tidak mustahil setelah berlakunya AFTA (ASEAN Free Trade Area), kita akan kebanjiran tenaga ahli informasi dari mancanegara. Kita percaya bahwa "information is power". Jadi, jangan sampai "power" di negeri tercinta ini kelak jatuh ke dalam genggaman para "information manager" pendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar