Kamis, 20 Februari 2014

Semua Membaca Buku: Indahnya Kebersamaan

Pekan buku atau sering disebut bookweek menjadi program menarik tahunan yang dinanti-nanti di tempat kerja saya. Selamat seminggu, kami akan mengadakan kegiatan membaca bersama, tiga kali sehari, selama lima belas menit sepajan jam kerja (seperti minum obat, ya?) dan kemudian menuliskan jumlah halaman yang kami baca pada reading logsheet yang telah disediakan oleh panitia. Jumlah halaman itu akan dikumpulkan per kelas dan dipajang sesuai dengan tema yang dipilihkan tahun itu. 

Hanya saja, kegembiraan ini belum dirasakan oleh bagian umum, termasuk di dalamnya para pekerja kebersihan, satpam, serta office boy. Bukan mereka tidak mau berpartisipasi dalam acara ini, tetapi kesibukan kerja, mobilitas yang tinggi dan tuntutan harus stand by kapanpun diperlukan. Tidak bisa dipungkiri, membaca itu membutuhkan waktu tenang sejenak sehingga dapat menikmati bahan bacaannya. 

Tahun ini ada yang berbeda. Para pekerja di bagian umum 'dipaksa' turut serta. Mereka 'harus' membaca buku-buku yang sudah dipilihkan (kebanyakan buku motivasi) serta menuliskan jumlah halaman yang sudah dibaca. Kebetulan, kami para pustakawan, dimasukkan ke dalam kelompok bagian umum pada pekan buku tahun ini. Dibantu oleh kepala bagian umum, saya memperoleh keseluruhan jumlah halaman yang terbaca selama seminggu oleh kelompok kami. 

Dari reading logsheet yang saya terima, ternyata jumlah halaman yang terbaca cukup menggembirakan. Memang tidak semua yang mengembalikan reading logsheet-nya, mungkin terselip entah dimana, sehingga ada beberapa yang menuliskannya pada selembar kertas, membatasi halamannya dengan selembar tisu toilet (mungkin sebaiknya lain waktu buku harus disertakan dengan penanda buku, bookmark) atau pesan melalui telepon. Ada satu reading logsheet yang membuat saya 'terharu' dari pekerja kebersihan bernama Santi. Saya lihat dia hanya punya kesempatan membaca sekali dalam satu hari, tetapi dia tetap menuliskan dan mengumpulkan reading logsheet serta menyimpan sampai pekan buku selesai. Oh, so sweet!

Memang kelompok kami paling akhir menampilkan total jumlah halaman yang telah kami baca, bahkan saat acara itu telah berakhir. Saya tetap memajang reading track yang dibuat seperti laut dengan binatang-binatang di dalamnya. Saya ingin sekali melihat reading track kami dipenuhi binatang-binatang laut. 

Dan hari itu pun tiba. Jumlah halaman yang terkumpul sudah 984 (sembilan ratus delapan puluh empat). Ini berarti kami mendapatkan 5 binatang laut (1 binatang laut mewakili 200 halaman).
 
Reading track






Semoga indahnya kebersamaan ini terulang kembali pada pekan buku di tahun-tahun mendatang.

Senin, 17 Februari 2014

Pustakawan Bukan Penjaga Buku

Artikel ini ditulis oleh Ina Liem dan dimuat di harian Kompas, Jumat, 7 Februari 2014. Saya sengaja merangkumkan artikel yang panjang dan menarik ini dengan tujuan mendorong para pustakawan di tempat saya bekerja dan secara luas agar bangga dengan profesinya dan selalu meningkatkan kemampuan mereka di bidang yang masih dianggap kurang bergengsi di Indonesia.

Siapa mau jadi pustakawan? Dari hasil polling penulis terhadap 5.614 siswa SMA di Indonesia tahun lalu, hanya ada 1 siswi yang berminat. Profesi ini masih dipandang sebelah mata. Kerjanya seolah-olah hanya menjaga buku, tenggelam di antara menjulangnya jajaran rak berisi ribuan buku. Apakah profesi ini memang "sepi pekerjaan" dan berprospek suram?

Indonesia punya lebih dari 200.000 sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan lebih dari 3000 perguruan tinggi. Bayangkan, kalau tiap institusi memerlukan seorang pustakawan, berapa sarjana perpustakaan yang harus disediakan. Untuk perbandingan, jumlah pustakawan Indonesia saat ini hanya sekitar 3000 orang. 

Padahal, selain perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, kita punya perpustakaan negara, perpustakaan umum, dan perpustakaan khusus. Bukan itu saja, lembaga pemerintahan dan perusahaan besar pun memerlukan keahlian mereka.

Bahkan, di perusahaan-perusahaan besar, karir pustakawan bisa mencapai posisi sebagai Chief Information Officer (CIO), yang setara dengan Chief Financial Officer (CFO) ataupun Chief Marketing Officer (CMO). Namun, tentu saja untuk bisa seperti ini diperlukan landasan akademis yang kuat. 

Tak banyak yang tahu bahwa seorang sarjana Ilmu Perpustakaan menggenggam seabrek keahlian yang bisa diaplikasikan ke banyak bidang terkaint informasi. Alasannya jelas, keahlian utama mereka adalah menghimpun, mengelola, menyebarkan, dan melestarikan informasi, lalu menyajikannya sesuai kebutuhan. 

Berhubung tugas utamanya adalah membagikan informasi, maka seorang pustakawan yang ideal bukan dari golongan kutu buku yang pendiam. Justru seorang pustakawan harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik sebab ia harus berhubungan dengan berbagai pihak dan divisi di perusahaan. Ia juga harus berorientasi pada pelayanan pelanggan dan pemasaran. Oleh sebab itu, karena bidang kerjanya makin dinamis dan media informasi makin bervariasi, sebaiknya seorang pustakawan adalah pribadi yang kreatif.

Harus diakui, untuk urusan informasi di era keterbukaan ini, Indonesia masih jauh tertinggal. Di negara lain, lulusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan menempati posisi strategis di berbagai industri. Selain perpustakaan, mereka bisa bekerja di bidang digital curation, digital preservation, digital publishing,  atau information analysis.

Begitu dahsyatnya revolusi digital sehingga arus informasi mengalir tak terbendung. Menyaring dan mencari informasi di antara jutaan data memerlukan keahlian tersendiri. Pustakawan pada era digital bukan lagi penjaga buku, melainkan lebih berperan sebagai information provider yang membantu memudahkan pengambilan keputusan secara cerdas. Pustakawan mesti berusaha lebih keras untuk menarik perhatian agar informasi berguna tetap mendapat tempat di hati masyarakat. 

Apabila kebutuhan akan keahlian ini tidak segera diisi oleh generasi muda kita, tidak mustahil setelah berlakunya AFTA (ASEAN Free Trade Area), kita akan kebanjiran tenaga ahli informasi dari mancanegara. Kita percaya bahwa "information is power". Jadi, jangan sampai "power" di negeri tercinta ini kelak jatuh ke dalam genggaman para "information manager" pendatang.